Wednesday 22 May 2013

"Senjata" Dimasa Kebangkitan Nasional

Pesan-pesan yang dilancarkan oleh kaum pergerakan, baik melalui pers maupun partai politik, merupakan "peluru" komunikasi yang menghantam kaum kolonial.

Senjaga adalah sesuatu yang digunakan untuk menyerang dan mempertahankan diri. Demikian menurut Kamus Bahasa Indonesia kengkap yang disusun oleh Daryanto SS. Dalam kaitan senjata ini Presiden Soekarno pernah mengatakan sebagai berikut :
"Dalam perjuangan menantang penjajah menghapuskan imperialis di masa lalu, kita hanya bersenjata partai-partai dan koran-koran (pers). Sekarang telah mendapat kemajuan yang amat tinggi, menghapuskan imperialis dengan alat kekuasaan negara".
Hal ini dikatakan Presiden Soekarno dalam resepsi kongres MPRI (Angkatan Muda Pembangunan RI) di Solo tanggal 11 Januari 1947.

Apapun yang dikemukakan Bung Karno itu merupakan fakta sejarah. Seperti telah dimaklumi berbagai organisasi didirikan dengan tujuan satu tekad mewujudkan Indonesia merdeka. Kegiatan ini dimulai dengan gagasan Dr Wahidin Sudiro Husodo dan pelajar STOVIA mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Dua bulan setelah Boedi Oetomo lahir, maka terbentuklah cabang Boedi Oetomo di Medan, dibawah pimpinan dr Pringadi. Boedi Oetomo berhasil merekrut anggota dari berbagai lapisan masyarakat dari kalangan dokter, guru, ahli hukum, wartawan dan pegawai pemerintah. Boedi Oetomo adalah organisasi pertama yang mengkritik perlakuan buruk terhadap kuli kontrak di Perkebunan di Sumatera Timur. Boedi Oetomo menuntut penghapusan "Poenale Sanctie" (Peraturan yang melindungi majikan dalam memaksa kuli-kuli kontrak bekerja) dan juga menuntut perbaikan nasib dan kondisi kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.

Benih Merdeka
Tahun 1911 berdirilah Sarikat Dagang Islam, setahun kemudian namanya berubah menjadi Sarikat Islam dipimpin oleh tohohnya HOS Cokroaminoto. Tahun 1913 Muhammad Samin mendirikan Sarikat Islam di Medan. Anggotanya intelektual Islam termasuk pedagang dan petani. Sarikat Islam cepat berkembang sampai ke Tapanuli Selatan. Seirama dengan berkembangnya organisasi Sarikat Islam, maka tahun 1916 diterbitkanlah sebuah surat yang diberi nama "Benih Merdeka".

Surat kabar ini diterbitkan Tengku Raja Sabaruddin, sedangkan pemimpin redaksinya Muhammad Samin dan Muhammad Yunus, mereka merupakan pimpinan Syarikat Islam Sumatera Timur. Kaum kolonial sangat alergi dengan kata "Merdeka". Pihak Belanda sangat tidak senang terhadap orang-orang pergerakan yang mengucapkan kata merdeka. Dengan penggunaan nama surat kabar "Benih Merdeka" Belanda tidak bisa berbuat apa-apa, karena itu adalah nama sebuah surat kabar. Langkah yang diambil untuk memberi nama "Benih Merdeka  merupakan satu pukulan bagi Belanda. Apalagi percetakan surat kabar ini diberi nama "Setia Bangsa". Menurut Mohd.Said pemberian nama surat kabar penggunaan kata "Merdeka" untuk pertama kalinya di Sumatera Timur.

Diantara kecaman dan kritikan yang ditujukan terhadap kolonial Belanda yang dimuat oleh harian "Benih Merdeka" adalah mengenai Poenale Sanctie yang lebih jahat dari penyakit pest. Karena pest bisa membunuh tanpa menderita, sedangkan wabah Poenale Sanctie rakyat lama menderita menanggung azab sengsara.

Kritikan lain yang dimuat oleh "Benih Merdeka" ditulis seorang yang memakai nama samaran Van Arde berjudul "Nasibnya Hindia" (Indonesia). Hindia bukan tanah wakaf. Hindia bukan nasi ramas, Hindia bukan rumah komedi. Karena kritikan ini, pemimpin redaksinya diperkarakan, tetapi karena dianggap tidak melanggar ketentuan hukum maka pemimpin redaksinya tidak dapat dituntut (niet vervolgbaar).

Partai politik dan pers merupakan senjata melawan penjajah dimasa kebangkitan nasional. Bentuk perlawanan telah kita ketahui, perlawanan yang dilakukan dengan menggunakan kedua senjata tersebut. Oleh pihak penjajah dianggap membahayakan kerajaan Belanda, mereka ditangkap, diadili, dibuang ke pulau terpencil malah ada yang diasingkan ke tempat yang paling mengerikan yaitu Boven Digul Tanah Merah di Papua.

Perlawanan Parada Harahap
Bicara mengenai senjata pers dan senjata pertai politik yang digunakan oleh kaum pergerakan dimasa kebangkitan nasional, senjata itu bukan hanya digunakan di jawa saja tetapi juga di Sumatera dan daerah lainnya. Di Sumatera umumnya dan di Medan khususnya tampil beberapa pendekar pers yang melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial.

Salah seorang diantaranya adalah Parada Harahap yang lahir di kampung Pargarutan Tapanuli Selatan 15 Desember 1899. Pendidikannya hanya duduk di "Sekolah Dua" atau "Government School Twee de Klass". Ketika baru berusia sekitar 15 tahun, dalam tahun 1914, Parada Harahap merantau ke Tanah Deli. Belum masuk ke kota Medan, salah seorang kenalannya menganjurkan agar melamar menjadi leerling Schyrver (calon juru tulis) pada sebuah perkebunan Belanda yang dikenal dengan nama Rubber Culture Mij Amsterdam di Klein Sungai karang dengan mendapat upah F10 (10 Gulden tiap bulan).

Karena Parada Harahap memang cerdas dalam waktu dua bulan telah diangkat menjadi schryver pembantu, pada salah satu Onderneming ilik maskapai tersebut, yaitu Liberia Estate. Parada Harahap seorang pekerja yang tekun, dan daya ingatnya yang sangat batu, menyebabkan kariernya makin lama makin meningkat. Kantor perkebunan tempat dia bekerja juga berlangganan surat kabar berbahasa Belanda "Desumatera Post" melalui surat kabar ini dia belajar dan memperlancar bahasa Belanda. Diperkebunan itu juga beredar surat kabar "Pawerta Deli" melalui surat kabar nasionalis ini. Parada Harahap belajar menulis. Karena dia memang seorang yang berbakar maka dalam waktu yang tidak lama dia telah mampu menulis artikel.

Karier Parada Harahap meningkat dalam masa dua tahun bekerja, ketika dia baru berusia 17 tahun telah memperoleh gaji E100 Gulden, mendapat perumahan dan mendapat pembantu. Sedangkan administratur dan asisten di masa itu baru bergaji E150. Meskipun Parada Harahap mempunyai gaji besar, dan fasilitas yang baik namun dia makin hari makin tidak tahan melihat kuli kontrak diperlakukan dengan cara kejam, baik oleh tuan kebun maupun para pembantunya. Parada Harahap membongkar kekejaman yang disaksikannya di perkebunan. Peristiwa-peristiwa yang tidak berperikemanusiaan itu ditulis di "Pewarta Deli" dan "Benih Merdeka". Poenale Sanctie adalah peraturan yang melindungi majikan, peraturan ini dilawan dengan pena oleh Parada Harahap.

Pada saat itu surat kabar De Soematra Post memberitakan pembacokan dan pembunuhan terhadap asisten perkebunan Belanda karena dihasut oleh Partai Syarikat Islam yang masuk ke tanah Deli pada tahun 1913. Parada Harahap tidak bisa menerima tuduhan tersebut karena apa yang terjadi itu adalah akibat kekejaman yang dilakukan pihak perkebunan sendiri terhadap kuli kontrak. Hal ini makin mendorong Parada Harahap untuk terus menulis dalam harian Benih Merdeka dan Pewarta Deli.

Perhatian Internasional
Setelah tersiar tulisan Parada Harahap mengenai kekejaman Poenale Sanctie, telah menjadi pembahasan bagi surat surat kabar berbahasa Belanda seperti Deli Courant dan De Sumatera Post. Surat kabar ini juga memuat berita mengenai kekejaman Poenale Sanctie dan surat kabar ini juga beredar di negeri Belanda. Kantor berita belanda juga membuat berita-berita kekejaman  Poenale Sanctie, sehingga masyarakat Internasional mengetahui kekejaman itu. Hal ini juga menarik perhatian badan internasional yaitu liga Bangsa Bangsa, yang mengadakan sidang di Jenewa dan meminta agar Poenale Sanctie dicabut.

Pihak perkebunan berusaha mencari siapa yang menulis Poenale Sanctie. Akhirnya diketahui Parada Harahap hingga ia diusir dari perkebunan. Parada Harahap masuk ke Medan dan menjadi redaktur harian Benih Merdeka, kemudian sebagai komisaris Syarikat Islam mengorganisir pemogokan kereta api DSM yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian besar.Parada Harahap kembali ke kampung halamannya Padangsidempuan dan disana menerbitkan Sinar Merdeka. Surat kabar ini menghantam ketidakadilan penjajah. Selama dua tahun memimpin Sinar Merdeka, 12 kali dia diperkarakan masuk dan keluar penjara. Tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Betawi (Jakarta). Karir jurnalistiknya berkembang, dan dia digelar "tokoh pers tiada tara".

Penutup
Melalui uraian yang sangat sederhana ini jelaslah bahwa partai dan koran (pers) merupakan senjata di masa kebangkitan nasional. Orang-orang politik dan orang pers telah banyak berbuat untuk bangsa dan tanah airnya. Tidak sedikit mereka yang ditangkap, dipenjarakan dan dibuang ke tempat yang jauh yang mengerikan di Boven Digul Tanah Merah Papua.

Menurut Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Republik beribu-ribu orang politik yang ditangkap karena dianggap membahayakan Kerajaan Belanda. Diperkirakan ada 10.000 kaum politikus yang menemui ajalnya ditempat pembuangan yang sangat menyeramkan itu. Begitupun kaum pergerakan dan politikus tidak pernah kendor semangat terus melawan ketidakadilan dan kekejaman kaum kolonial.

Penulis adalah Veteran Pejuang Kemerdekaan
Gol.B, Wartawan Senior
Pemerhati Sejarah