Gajah di pelupuk mata tiada kelihatan, tapi semut di seberang lautan jelas
kelihatan. Itulah sebuah peribahasa yang mengungkapkan watak manusia yang suka
melihat dan meneliti kesalahan orang lain walau yang sekecil-kecilnya, akan
tetapi lupa atau memang sengaja melupakan diri teradap kesalahan diri sendiri.
Perbuatan seperti itu sesungguhnya sangat dilarang oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya
yang tersebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurot ayat 12, yang artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesunguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan
janganlah sebagian kamu mengunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Menerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dan dalam sebuah hadits hasan yang diriwayatklan oleh Al-Bazzar, Rasulullah
SAW bersabda yang artinya :
“Berbahagialah orang yang
selalu diingatkan oleh ‘aibnya sendiri daripada ‘aibnya orang lain”
Maka dari itu sebagai orang yang beriman, hendaklah kita senantiasa
pandai-pandai mengoreksi dan membersihkan aib atau kesalahan-kesalahan yang
terjadi pada diri sendiri dan berusaha dengan segala daya dan upaya untuk
mengekang hawa nafsu. Karena pada dasarnya kesalahan-kesalahan yang terjadi itu
adalah karena menurutkan hawa nafsu.
Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Naazi ayat 40-41, yang
artinya :
“Dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”
Perlu diketahui pula, bahwa bergolaknya hawa nafsu itu bersumber dari empat
hal, yakni:
- Sering melanggar larangan Allah
- Sering berlakunya (berbuat baik bukan karena Allah, melainkan supaya mendapat pujian, sanjungan dan sebagainya)
- Suka membuang-buang waktu dengan percuma
- Malas mengerjakan perintah-perintah Allah
Agar kita dapat mengatasi keempat sumber bergolaknya hawa nafsu tersebut,
maka hedaknya kita mengisi jiwa ini dengan ilmu ma’rifat, taat dalam
menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Baik yang
bersumber dari Al-Qur’an maupun dari Hadits Rasulullah SAW.
Dikutip dari buku Hakekat Ma’rifat, hal 267-268
Penerbit : Bintang Usaha Jaya, Surabaya